Alexander Agung
adalah pemimpin muda dengan ambisi menguasai seluruh dunia.
Alexander Agung
dilahirkan pada tahun 356 SM di Macedonia, yang sekarang menjadi bagian dari
Yunani. ia merupakan anak penguasa Macedonia, Philip II dan istrinya Olimpias
(putri dari Epirus).
Menurut biografer Yunani kuno, Plutarch, Olympias, pada
malam pernikahannya dengan Filipus, bermimpi bahwa rahimnya disambar petir,
yang memicu semburan api yang menyebar sampai "jauh dan luas" sebelum
padam. Beberapa waktu sebelum pernikahan, dikatakan bahwa Filipus bermimpi
melihat dirinya menyegel rahim istrinya dengan menggunakan segel berukir singa.
Plutarch mengajukan sejumlah penafsiran tentang mimpi-mimpi itu: bahwa
Olympia telah hamil sebelum menikah, ditunjukkan dengan penyegelan rahimnya;
atau bahwa ayah Aleksander adalah Zeus. Para sejarawan ada yang berpendapat
bahwa Olympias yang ambisius membesar-besarkan cerita mengenai silsilah dewa
Aleksander, yang lain berpendapat Olympias memberitahu Aleksander.
Pada hari kelahiran Aleksander, Filipus sedang
bersiap-siap untuk mengepung kota Potidea di semenanjung Chalcidike. Pada hari yang sama,
Filipus mendapat kabar bahwa jenderalnya Parmenion telah mengalahkan pasukan gabungan Illyria dan Paionia, dan bahwa kuda-kudanya telah memenangkan Olimpiade. Dikatakan pula bahwa pada hari itu,
Kuil Artemis di Ephesos—salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno-terbakar. Hegesias dari Magnesia berkata bahwa
kuil itu terbakar karena dewi Artemis
menghadiri kelahiran Aleksander.
Philip II ingin
anaknya menerima pendidikan terbaik dan untuk ini dia meminta Aristoteles untuk
langsung mengajar Alexander.
Pada masa kecilnya,
Alexander amat tertarik pada cerita heroik dan ingin menjadi pahlawan suatu
saat nanti. Dia mendengar cerita tentang pahlawan besar seperti Achilles dan
Hercules dari ibunya. Ibunya selalu mengatakan bahwa Alexander adalah pewaris
kedua pahlawan tersebut.
Sang ibu mengatakan
bahwa Achilles adalah nenek moyang Alexander dan Hercules adalah leluhur
ayahnya.
Alexander menjadikan
Achilles sebagai model yang kelak ingin ditirunya. Ayahnya juga mendorong dia
untuk melakukan sesuatu yang heroik dan menang dalam banyak pertempuran
sehingga namanya akan ditulis dalam tinta emas dalam sejarah.
Karena menerima
pendidikan dari Aristoteles, tidak mengherankan jika Alexander mencapai tingkat
kematangan di usia awal.
Dia terpesona dengan
karya Homer. Aristoteles menggunakan segala cara yang mungkin untuk
mengajarinya berbagai hal.
Alexander belajar
bagaimana berpikir secara politis, bagaimana mengembangkan strategi, dll.
Selain itu, dia juga terus menempa fisik agar menjadi prajurit yang tangguh.
Ketika Aleksander
berusia sepuluh tahun, seorang pedagang kuda dari Thessalia menawarkan seekor
kuda pada Filipus. Kuda tersebut diberi harga senilai tiga belas talen. Kuda itu tidak mau ditunggangi oleh
siapapun, dan Filipus memerintahkannya untuk dibawa pergi. Akan tetapi,
Aleksander berkata bahwa rasa takut kuda itu adalah bayangannya sendiri dan
meminta kesempatan untuk memunggangi kuda itu. Aleksander berhasil
melakukannya. Menurut Plutarch, Filipus, yang merasa sangat senang melihat
keberanian dan ambisi Aleksander, langsung mencium putranya itu dan menyatakan:
"Putraku, kau harus menemukan kerajaan yang cukup besar untuk ambisimu.
Makedonia terlalu kecil untukmu". Setelah itu Filipus membelikan kuda itu
untuk Aleksander. Aleksander menamai kuda itu Bukephalas, bermakna "kepala lembu".
Bukephalas akan menjadi teman perjalanan Aleksander dalam penaklukannya sampai
ke India. Ketika Bukephalas mati (akibat usia tua, menurut Plutarch, karena
sudah berusia tiga puluh tahun), Aleksander menamai sebuah kota sesuai nama
kudanya (Bukephala).
Ketika Aleksander menginjak usia enam belas tahun, masa
belajarnya pada Aristoteles selesai. Filipus, sang raja, berangkat untuk
berperang melawan Byzantion,
dan Aleksander ditugaskan untuk mengurus kerajaan. Selama Filipus
pergi, suku Maedi Thrakia memberontak menentang kekuasaan
Makedonia. Aleksander merespon dengan cepat, dia meredam pemberontakan suku
Maedi, mengusir mereka dari wilayah mereka, mengisinya dengan orang-orang
Yunani, dan mendirikan kota yang dia namai Alexandropolis.
Setelah Filipus
kembali dari Byzantion, dia memberi Aleksander sejumlah kecil pasukan dan
mengutusnya untuk mnghentikan suatu pemberontakan di Thrakia selatan. Dalam
kampanye lainnya melawa kota Perinthos di Yunani, Aleksander disebutkan menyelamatkan
nyawa ayahnya. Sementara itu, kota Amphissa mulai mengolah tanah yang dikeramatkan untuk Apollo
di dekat Delphi, suatu pelanggaran
yang memberi kesempatan bagi Filipus untuk ikut campur lebih jauh dalam urusan
Yunani. Masih berada di Thrakia, Filipus menyuruh Aleksander untuk mulai menghimpun
pasukan untuk kampanye di Yunani. Sadar dengan adanya kemungkinan negara-negara
Yunani lainnya untuk ikut campur, Aleksander memperlihatkan seolah-olah dia
hendak menyerang Illyria. Dalam kekisruhan ini, Illyria mengambil kesempatan
untuk menginvasi Makedonia, namun Aleksander berhasil menghalau para penyerang
itu.
Setelah kembali ke
Pella, Filipus jatuh cinta pada Kleopatra Euridike, keponakan salah satu
jenderalnya, Attalos. Pernikahan ini membuat posisi Aleksander terhadap takhta
menjadi rawan, karena jika Kleopatra Euridike melahirkan seorang putra, maka
putra tersebut akan menjadi ahli waris yang sepenuhnya keturunan Makedonia,
sedangkan Aleksander hanya separuh berdarah Makedonia. Pada pesta pernikahan,
Attalos yang mabuk berdoa pada para dewa semoga pernikahan itu akan
menghasilkan ahli waris yang sah untuk takhta Makedonia.
“
|
Pada pesta pernikahan Kleopatra, yang
dicintai dan dinikahi oleh Filipus, dia (Kelopatra) terlalu muda untuknya,
pamannya Attalos dalam mabuknya meminta rakyat Makedonia untuk memohon pada
para dewa supaya memberi pewaris yang sah untuk kerajaan melalui
keponakannya. Ini membuat Aleksander sangat marah, sehingga dia melempar
gelasnya ke kepalanya, "Kau bajingan." katanya, "Apa, lalu aku
pewaris yang tidak sah?" Kemudian Filipus bangkit dan hendak berlari
pada putranya; namun entah karena keberuntungan, atau karena Filipus terlalau
marah, atau karena terlalu mabuk, Filipus terjatuh ke lantai. Aleksander
mencelanya, "Lihat itu." katanya, "pria yang bersiap untuk
menyeberangi Eropa menuju Asia, terjatuh hanya ketika hendak berpindah kursi.
Plutarch, menggambarkan perseturuan dalam pesta
pernikahan Filipus
|
Aleksander kabur dari
Makedonia bersama ibunya, yang dia titipkan di saudara ibunya di Dodona, ibu
kota Epiros. Aleksander sendiri terus pergi ke Illyria, di sana ia meminta
suaka pada raja Illyria dan diperlakukan sebagai tamu oleh rakyat Illyria
meskipun Aleksander pernah mengalahkan Illyria dalam pertempuran beberapa tahun
sebelumnya. Namun, Filipus masih ingin mengakui Aleksander sebagai putranya,
sehingga Aleksander kembali ke Makedonia setelah enam bulan kabur. Dia kembali
berkat sahabat keluarganya, Demaratos dari Korinthos,
yang melakukan mediasi antara kedua belah pihak.
Setahun kemudian, satrap (gubernur) Persia di Karia, Pixodaros, menawarkan putri sulungnya pada
saudara tiri Aleksander, Filipus Arrhidaios. Olympias dan beberapa sahabat
Aleksander menduga bahwa tindakan itu menunjukkan Filipus berniat mengangkat
Arrhidaios sebagai ahli warisnya. Aleksander bereaksi dengan mengirim seorang
aktor, Thessalos dari Korinthos, untuk memberitahu Pixodaros bahwa
dia seharusnya tidak menawarkan putrinya pada putra raja yang tidak sah,
melainkan pada Aleksander. Ketika Filipus mengetahui ini, dia menghentikan
negosiasi dan memarahi Aleksander yang ingin menikahi putri orang Karia.
Filipus menjelaskan bahwa dia ingin perempuan yang lebih baik untuk Aleksander.
Filipus lalu mengasingkan empat kawan Aleksander, yaitu Harpalos, Neiarkhos, Ptolemaios dan Erigyios. Sedangan Thessalos dibawa
ke hadapan Filipus dalam keadaan dirantai
Pada akhirnya Alexander
menjadi raja di usia yang sangat muda (20 tahun) setelah ayahnya terbunuh
secara misterius dan diduga dibunuh oleh suruhan raja Persia oleh karena Yunani
saat itu tidak ingin tunduk terhadap raja Darius.
Setelah menjadi raja
Macedonia, Alexander hanya memiliki satu tujuan dalam hidupnya yaitu menguasai
seluruh dunia.
Dia memulai
penaklukannya dengan mengalahkan Persia (sekarang dikenal sebagai Iran).
Penaklukan ini dianggap sebagai salah satu kisah heroik paling sukses dalam
sejarah.
Pasukan Aleksander
menyeberangi Hellespont
pada tahun 334 SM dengan jumlah tentara sekitar 48.100 infantri, 6.100
kavaleri dan armada laut yang terdiri dari 120 kapal dengan kru kapal sekitar
38.000 orang. Pasukan itu berasal dari Makedonia dan dari berbagai negara-kota
Yunani, selain juga tentara bayaran, serta pasukan dari Thrakia, Paionia, dan Illyria
Kemenangannya membuka
jalan bagi penaklukan selanjutnya. Alexander Agung melanjutkan perjalanan
penaklukannya ke sepanjang pantai Suriah, kemudian ke Phoenicia dan Tyre.
Pertempuran Tyre
dianggap sebagai salah satu yang bersejarah. Lebih lanjut, dia menuju Gaza dan
menaklukkannya dalam waktu tiga bulan.
Setelah Aleksander
menghancurkan Tyre, sebagian besar kota dalam rute ke Mesir menyerah, kecuali
Gaza. Gaza memiliki suatu benteng
kuat yang di atas bukit dan sangat terlindung. Pada
awal Pengepungan
Gaza, Aleksander memanfaatkan alat-alat yang sebelumnya dia pakai
ketika menyerang Tyre. Setelah tiga kali gagal menyerang, benteng itu pada
akhirnya berhasil ditembus, namun Aleksander harus mendapat luka di bahunya.
Seperti halnya di Tyre, semua penduduk pria dibantai, sedangkan semua wanita
dan anak-anak dijadikan budak.
Di lain pihak, Yerusalem membuka
gerbangnya dan menyerah pada Aleksander. Menurut Yosephus, Aleksander diperlihatkan buku ramalan Daniel, bab
8, yang isinya adalah bahwa seorang raja Yunani yang kuat akan datang dan
menaklukkan Kekaisaran Persia. Setelah melihat isi buku tersebut, Aleksander
mengampuni Yerusalem dan terus maju ke Mesir.
Aleksander memasuki
Mesir pada tahun 332 SM, di sana dia dipandang sebagai seorang pembebas. Dia memperoleh gelar "penguasa baru alam
semesta" dan putra dewa Amun di Orakel Oasis Siwa di gurun Libya. Sejak saat itu, Aleksander kadang
disebut sebagai putra asli dari Zeus-Ammon, dan mata uang yang kemudian muncul
menggambarkan dirinya dengan hiasan tanduk kambing sebagai simbol kedewaannya.
Dalam masa tinggalnya di Mesir, dia mendirikan Aleksandria/ Iskandariyah, yang
kelak akan menjadi ibu kota Kerajaan Ptolemaik setelah kematian Aleksander.
Berangkat dari Mesir
pada tahun 331 SM, Aleksander pergi menuju ke timur ke Mesopotamia (sekarang Irak utara) dan sekali lagi mengalahkan Darius
dalam Pertempuran
Gaugamela. Lagi-lagi Darius terpaksa kabur dan meninggalkan arena
pertempuran, Aleksander mengejarnya sampai ke Arbela. Gaugamela akan terbukti sebagai
pertempuran terakhir dan paling menentukan antara Aleksander dan Darius.
Aleksander lalu bergerak menuju Babilonia
dan menaklukkan kota tersebut.
Dari Babilonia,
Aleksander melaju ke Susa, salah satu ibu kota
Persia, dan merebut harta bendanya yang legendaris. Aleksander mengirim
sebagian besar pasukannya ke ibu kota seremonial Persia, Persepolis, lewat Jalan Kerajaan, dan dia sendiri memimpin
tentara-tentara pilihannya melalui rute langsung ke kota tersebut. Aleksander
harus menyerang jalan masuk ke Gerbang Persia (di Pegunungan Zagros modern) yang telah diblok
oleh pasukan Persia di bawah pimpinan Ariobarzanes dan kemudian menghancuran
Persepolis sebelum garnisunnya dapat mengamankan harta benda. Ketika mamsuki
Persepolis Aleksander mengizinkan pasukannya untuk menjarah kota dan kemudian
menyuruh mereka berhenti. Aleksander tinggal di Persepolis selama lima bulan.
Dalam masa tinggalnya di ibu kota, kebakaran terjadi di istana timur Xerxes
dan menyebar ke seluruh kota. Banyak dugaan mengenai apakah kebakaran itu
terjadi karena kecelakaan, atau sebagai tindakan pembalasan atas pembakaran Akropolis Athena pada masa
Perang Yunani-Persia Kedua. Arrianus,
dalam salah satu kritiknya mengenai Aleksander, menyatakan, "Aku juga
tidak merasa bahwa Aleksander menunjukkan pengertian yang baik dalam tindakan
ini atau bahwa dia dapat menghukum rakyat Persia atas tindakan masa lalu."
Aleksander lalu pergi
mengejar Darius lagi, pertama-tama ke Media, dan kemudian ke Parthia. Raja
Persia itu tak lagi dapat mengendalikan nasibnya, dan dia ditawan oleh Bessus, satrapnya di Baktria dan juga kerabatnya.
Ketika Aleksander datang, Bessus dan anak buahnya telah menusuk Darius sampai
mati. Bessus lalu menyatakan dirinya sebagai penerus Darius dengan nama
Artaxerxes V, sebelum kemudian mundur ke Asia Tengah untuk
melancarkan serangan gerilya terhadap
Aleksander. Mayat Darius dimakamkan oleh Aleksander di dekat makam para
pemimpin Akhemeniyah lainnya dengan upacara pemakaman yang suci. Aleksander
mengklam bahwa sebelum wafat, Darius telah mengangkat Aleksander sebagai
penerus takhta Akhemeniyah. Kekaisaran Akhemeniyah atau Kekaisaran Persia pada
umumnya dianggap telah runtuh dengan meninggalnya Darius.
Alexander Agung
kemudian berbalik ke wilayah Asia Selatan dan melihat Afghanistan sebagai
target.
Dia masuk Bactria dan
Sogdiana, di balik pegunungan Hindu Kush, kemudian terus maju hingga Sungai
Jaxartes.
Ketika Aleksander
pergi ke Asia, dia menugaskan jenderalnya Antipatros, seorang pemimpin dengan pengalaman
politik dan militer dan bagian dari "Garda Lama" yang telah melayani
Filipus, untuk mengurus Makedonia. Penghancuran Aleksander terhadap kota Thebes
telah membuat kota-kota lainnya diam sehingga Yunani terjamin tetap aman selama
Aleksander absen Masalah yang muncul adalah ancaman dari raja Sparta, Agis III,
pada tahun 331 SM, yang untungnya dapat diselesaikan oleh Antipatros. Agis
dikalahkan dan dibunuh oleh Antipatros dalam suatu pertempuran di Megalopolis
setahun kemudian. Antipatros lalu meminta Aleksander untuk menghukum Sparta,
namun Aleksander lebih memilih untuk mengampuni mereka. Masalah lainnya adalah
perselisihan antara Antipatros dan ibu Aleksander Olympias. Masing-masing dari
mereka sama-sama mengeluh kepada Aleksander mengenai yang lainnya. Secara umum,
Yunani mengalami periode perdamaian dan kemakmuran selama kampanye militer
Aleksander di Asia. Aleksander juga mengirim balik sejumlah besar harta hasil
dari penaklukannya, yang berhasil meningkatkan perekonomian dan mengembangkan
perdagangan antar daerah di kekaisarannya. Namun dalam prosesnya, Aleksander
terus-menerus meminta tambahan pasukan serta penduduk dari Yunani untuk mengisi
berbagai daerah di kekaisarannya. Tindakan ini sangat melemahkan Makedonia
bertahun-tahun setelah kematiannya, dan akan berujung pada kekalahan dan
pendudukan Makedonia oleh Romawi
Alexander Agung
lantas menikahi putri seorang konglomerat Sogdiana bernama Roxane. Ketika
berada di Sordiana, dia membunuh teman dekatnya saat mereka mabuk dan terlibat
pertengkaran.
Pasukannya tidak
senang dengan perbuatan Alexander yang membunuh orang-orangnya sendiri. Untuk
menenangkan masalah ini, Alexander mengeksekusi beberapa orang lagi.
Di sebelah timur
kerajaan Puru, di dekat Sungai
Gangga, berdiri Kekaisaran Nanda di Magadha dan Kekaisaran Ganggaridai di Bengali. Dua kekaisaran itu
sangatlah kuat. Pasukan Aleksander kemudian memberontak karena tidak mau lagi
menghadapi pasukan India yang kuat. Selain itu mereka juga sudah lelah setelah
berperang selama bertahun-tahun. Mereka memberontak di Sungai Hyphasis, menolak untuk maju lebih jauh
ke timur. Demikianlah, sungai ini menjadi batas paling timur penaklukan
Aleksander.
“
|
Mereka secara kasar menentang Aleksander
ketika dia bersikeras ingin menyeberangi sungai Gangga, yang lebarnya, sesuai
yang mereka tahu, adalah tiga puluh dua furlong, kedalamannya mencapai
seratus depa, sedangkan bantarannya di sisi seberang telah dipenuhi oleh
banyak prajurit dan penunggang kuda dan gajah musuh. Karena mereka sudah
diberi tahu bahwa pasukan Ganderites dan Praesii telah menanti kedatangan
mereka dengan menyiapkan delapan puluh ribu penunggang kuda, dua ratus ribu
pasukan pejalan kaki, delapan ribu kereta perang, dan enam
ribu gajah perang.
|
”
|
Aleksander berbicara
kepada pasukannya dan berusaha untuk membujuk mereka supaya mau berjalan lebih
jauh ke India namun Koinos, salah satu jenderalnya, memohon pada Aleksander untuk
berubah pikiran dan pulang. Koinos berkata, "Para tentara sudah rindu
untuk berjumpa kembali dengan orang tua, istri dan anak-anak mereka. Aleksander
menyadari keadaan pasukannya dan dia pun akhirnya setuju. Dia dan pasukannya
kemudian berbelok ke selatan dan menyusuri Sungai Indus. Dalam
perjalanannya, mereka menaklukkan klan-klan Malli (di Multan
modern), dan beberapa suku India lainnya.
Aleksander mengirim
sejumlah besar pasukannya ke Carmania (Iran selatan modern) beserta jenderalnya Krateros, dan juga mengirim armada laut untuk mengeksplorasi
pesisir Teluk Persia di bawah
admiral Nearkhos. Sementara dia sendiri memimpin pasukannya untuk
mundur ke Persia melalui rute selatan yang lebih sulit di sepanjang Gurun Gedrosia dan Makran (kini bagian dari Iran selatan dan Pakistan selatan).
Alekander sampai di Susa pada tahun 324 BC, namun dia kehilangan banyak
prajurit akibat kondisi gurun yang keras.
Dalam upaya
menciptakan perdamaian yang bertahan antara orang-orang Makedonia dan rakyat
Persia, Aleksander mengadakan pernikahan massal di Susa antara para perwiranya
dengan wanita bangsawan Persia. Akan tetapi, hanya sedikit dari pernikahan
tersebut yang bertahan lebih dari setahun. Sementara itu, setelah tiba di
istananya, Aleksander mengetahui bahwa beberapa orang telah menodai makam Koresh yang Agung.
Aleksander dengan cepat menghukum mati mereka, karena mereka sebenarnya
ditugaskan untuk menjaga makam Koresh tersebut, yang sangat dihormati oleh
Aleksander.
Setelah Aleksander
pergi ke Ekbatana untuk mengambil bagian terbesar dari harta kekayaan Persia,
sahabat terdekat, Hephaistion, meninggal karena suatu penyakit,
atau barangkali akibat diracun. Arrian menemukan banyak sumber yang meragukan tentang
reaksi duka Aleksander atas kematian itu, meskipun hampir semua pendapat setuju
bahwa kematian Hephaistion cukup menggucang Aleksander. Dia memerintahkan
pelaksananaan pemakaman sahabatnya itu untuk diselenggarakan secara mahal di
Babilonia. Selain itu, Aleksander juga memerintahkan dilaksanakannya masa
berkabung bersama.
Setelah kembali ke
Babilonia, Aleksander merencanakan serengkaian kampanye militer baru, yang akan
dimulai dengan invasi ke Jazirah
Arab. Namun dia tidak sempat merealisasikan rencana tersebut karena
dia meninggal dunia tidak lama setelah kembali ke Babilonia
Pada tanggal 10 atau
11 Juni 323 SM, Aleksander meninggal di istana Nebukadnezar II, di Babilonia pada usia 32
tahun. Rincian mengenai kematian tersebut sedikit berbeda-beda. Catatan Plutarch menceritakan bahwa
sekitar 14 hari sebelum kematiannya, Aleksander menjamu admiralnya, Nearkhos, dan menghabiskan malam serta hari berikutnya dengan
minum-minum bersama Medios dari Larissa. Aleksander lalu mengalami
demam, yang semakin lama semakin parah, sampai-sampai dia tak dapat lagi
berbicara. Para tentara menjadi sangat cemas ketika Aleksander hanya dapat melambaikan
tangannya pada mereka. Dua hari kemudian, Aleksander meninggal dunia. Sementara
Diodoros menceritakan bahwa Aleksander menderita rasa sakit setelah meneggak
semangkuk besar angur yang tidak dicampur untuk menghormati Herakles, dan wafat setelah
mengalami semacam rasa sakit,yang juga disebutkan sebagai alternatif oleh
Arrian, namun Plutarch secara khusus
membantah klaim ini.
Mengingat aristokrasi
Makedonia punya kecenderungan untuk melakukan pembunuhan, maka muncul dugaan bahwa Aleksander meninggal
dunia akibat dibunuh. Diodoros, Plutarch, Arrian dan Yustinus semuanya
menyebutkan teori bahwa Aleksander diracun. Plutarch menganggapnya sebagai
pemalsuan,
sedangkan Diodoros dan Arrian berkata bahwa mereka menyebutkannya hanya demi
kelengkapan. Meskipun demikian, catatan-catatan mereka cukup konsisten dalam
menduga para tersangka di balik pembunuhan Aleksander, di antaranya adalah Antipatros, yang baru saja diberhentikan dari
jabatannya sebagai raja muda Makedonia, dan tersangka lainnya anehnya adalah
Olympias. Barangkali datang ke Babilonia untuk menanti hukuman mati, dan telah
melihat nasib yang menimpa Parmenion dan Philotas, Antipatros pun menyusun
rencana supaya Aleksander diracun oleh putranya Iollas, yang merupakan penuang
anggur Alexander.
Jenazah Aleksander
disimpan di sarkofagus antropoid daru
emas, yang dimasukkan lagi ke dalam peti mati dari emas. Berdasarkan Aelianus, seorang peramal bernama
Aristandros meramalkan bahwa tanah tempat Aleksander diistirahatkan "akan
bahagia dan tak tertaklukkan selamanya". Yang lebih mungkin, para
penerusnya barangkali menganggap kepemilikan atas jenazah Aleksander sebagai
suatu lambang legitimasi (adalah hak khusus kerajaan untuk memakamkan raja
sebelumnya). Bagaimanapun, Ptolemaios mencuri iring-iringan pemakaman, dan
membawanya ke Memphis. Penggantinya, Ptolemaios II Philadelphos, memindahkan sarkofagus ke
Aleksandria. Sarkofagus itu berada di sana hingga setidaknya Zaman Kuno Akhir. Ptolemaios
IX Lathyros, salah satu penerus Ptolemaios I, mengganti sarkofagus
emas Aleksander dengan sarkofagus dari kaca. Sarkofagus emasnya dia lelehkan
untuk kemudian dibuat menjadi uang koin. Pompeius, Julius Caesar dan Augustus semuanya pernah
mengunjungi makam Aleksander di Aleksandria. Augustus diduga mengganggu hidung
jenazah Aleksander. Caligula
dikatakan mengambil pelindung dada Aleksander dari makam untuk kepentingannya
sendiri. Pada tahun 200 M, Kaisar Septimius Severus menutup
makam Aleksander untuk umum. Putra dan penggantinya, Caracalla, adalah pengagum
berat Aleksander. Dia pernah mengunjungi makam Aleksander pada masa pemerintahannya.
Setelah itu, nasib makam tersebut menjadi tidak banyak diketahui.
Sarkofagus yang
disebut "Sarkofagus Aleksander" ditemukan di dekat
Sidon dan kini berada di Museum
Arkeologi Istanbul. Sarkofagus itu dinamai begitu bukan karena di
dalamnya ada jenazah Aleksander, tetapi karena di bagian luarnya terdapat
relief yang menggambarkan Aleksander dan rekan-rekannya yang sedang berburu dan
bertempur melawan pasukan Persia. Awalnya itu dikira sebagai sarkofagus Abdalonymos (meninggal 311 SM), raja
Sidon yang diangkat oleh Aleksander segera setelah pertempuran Issus pada
tahun 331. Namun, baru-baru ini diduga bahwa sarkofagus itu berasal dari masa
yang lebih awal daripada kematian Abdolymos.
Kematian Aleksander
begitu tiba-tiba sehingga ketika beritanya mencapai Yunani, orang-orang tidak
langsung percaya. Aleksander tidak memiliki ahli waris yang sah dan jelas,
putranya Aleksander IV dari hubungannya dengan Roxane lahir setelah Aleksander
meninggal. Akibatnya muncul pertanyaaan besar mengenai siapa yang akan memimpin
kekaisaran yang baru ditaklukkan dan belum tenang ini. Berdasarkan Diodoros,
rekan-rekan Aleksander sempat bertanya kepada Aleksander, yang saat itu sedang
sekarat, mengenai kepada siapa Aleksander mewarskan kerajaannya. Aleksander
menjawab singkat, "tôi kratistôi" ("kepada yang terkuat").
Mengingat bahwa Arrianus dan Plutarch menyatakan bahwa ketika itu Aleksander
sudah tidak dapat berbicara, cerita tersebut agak diragukan kebenarannya.
Diodoros, Curtius dan Yustinus juga punya cerita yang lebih masuk akal bahwa
Aleksander meberikan segelnya kepada Perdikkas, salah satu pengawalnya dan
pemimpin pasukan kavaleri rekan. Aleksander melakukannya di depan sejumlah
saksi, dan dengan demikian mungkin Aleksander mencalonkan Perdikkas sebagai
penerusnya.
Dalam hal apapun,
Perdikkas awalnya secara eksplisit menolak mengklaim kekuasaan. Dia malah
menginginkan putra Roxane untuk menjadi raja, jika Roxane melahirkan bayi
laki-laki. Sementara dia, Krateros, Leonnatos, dan Antipatros akan menjadi
penjaga sang raja. Akan tetapi, pasukan infantri, di bawah komando Meleagros, menolak hal ini dengan alasan
mereka tidak diikutsertakan dalam diskusinya. Sebaliknya, mereka mendukung
saudara tiri Aleksander, Filipus Arrhidaios. Pada akhirnya, kedua belas pihak
berdamai, dan setelah Aleksander IV lahir, dia dan Filipus III diangkat sebagai
raja bersama, meskipun itu hanyalah gelar saja.
Tidak lama setelah
itu, perselisihan dan persaingan mulai menimpa orang-orang Makedonia.
Kesatarapan-kesatrapan yang diserahkan oleh Perdikkas melalui Pembagian
Babilonia menjadi basis kekuatan bagi masing-masing jenderal untuk melancarkan
tawarannya untuk kekausaan. Setelah Perdikkas dibunuh oleh pembunuh gelap pada
tahun 321 SM, persatuan Makedonia runtuh dan terjadilah perang selama empat
puluh tahun antara "Para Penerus" (Diadokhoi). Setelah itu
kekaisaran Aleksander terpecah menjadi empat wilayah kekuassaan terpisah yang
stabil, yaitu Kerajaan
Ptolemaik di Mesir, Kekaisaran
Seleukia di Persia, Kerajaan Pergamon di Asia
Minor, dan Kerajaan Makedonia di Yunani.
Aleksander dan semua
yang telah dia lakukan dikagumi oleh banyak orang Romawi. Mereka mengasosiasikan
diri mereka sendiri dengan prestasi-prestasi Aleksander. Polybius memulai Sejarahnya dengan mengenangkan rakyat
Romawi akan tindakan-tindakan Aleksander. Sesudah itu para pemimpin Romawi
melihat Aleksander sebagai teladan dan sumber inspirasi bagi mereka. Julius
Caesar dilaporkan berurai air mata di Spanyol ketika melihat patung Aleksander,
karena dia merasa bahwa pencapaiannya terlalu sedikit jika dibandingkan dengan
Aleksander, yang berhasil menaklukkan Persia pada usia yang sama. Pompeius yang Agung menjelajahi
daerah-daerah taklukannya di timur dalam rangka mencari jubah Aleksander yang
berumur 260 tahun. Pompeius lalu memakai jubah itu sebagai tanda keagungannya. Augustus pernah terlalu
semangat menghormati Aleksander sampai-sampai dia mematahkan hidung pada mayat
Aleksaner yang telah dimumikan. Augustua melakukannya ketika dia sedang menaruh
karangan bunga di makam Aleksander di Aleksandria. Keluarga Macriani, keluarga
Romawi yang salah satu anggotnya, yaitu Macrinus, pernah menjadi kaisar, sering menampilkan gambar
Aleksander, baik dalam perhiasan, atau dalam sulaman pada pakaian yang mereka
kenakan.
Pada musim panas
tahun 1995, sebuah patung Aleksander ditemukan dalam penggalian sebuah rumah
Romawi di Aleksandria, yang penuh dengan dekorasi dan jalan marmer dan
kemungkinan dibangun pada abad pertama Masehi serta ditempati sampai abad ke-3.