Konon dalam satu kampung yang bernama suka indah, kampung yang warganya terdiri dari badak, beruang, anjing, gajah, kancil dan harimau. Suatu hari kancil mempunyai ide untuk berburu. Sebuah ide besar pada masa itu. Setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya ide kancil diterima seluruh warga kampung.
Setelah
mendapat persetujuan, kancil pun mulai menentukan jumlah peserta dan membagi
tugas serta tanggung jawab dari masing-masing peserta yang akan pergi berburu.
Masing-masing jenis binatang diminta kancil hanya mengirim satu peserta.
Sehingga seluruh peserta berjumlah enam ekor. Dengan masing-masing tugas dan
tanggungjawab, sebagai berikut: 1). Badak memimpin pencarian ikan; 2). Beruang
memimpin pencarian madu; 3). Anjing memimpin perburuan, untuk mendapatkan rusa
dan kijang; sedangkan 4). Gajah urus konsumsi; 5). Kancil mengatur tugas harian
dalam pondok; dan 6). Harimau bertugas sebagai penjaga keamanan.
Kemudian,
bersama-sama mereka menentukan sasaran perburuan, yaitu hutan rimba tenang.
Hutan yang di dalamnya banyak rusa, kijang, madu dan sungai-sungai kecil yang
banyak ikannya. Berbagai sungai kecil itu, entah bagaimana sejarahnya, memiliki
nama yang sama, yaitu sungai lain lubuk lain ikannya. Dan setiap lubuk memiliki
jenis ikan yang berbeda-beda.
Perburuan
ini, sampai kembali ke kampung, mereka perkirakan memakan waktu lima hari. Oleh
karena itu, mereka mempersiapkan beras sebanyak sepuluh gantang, dengan
perhitungan satu hari mereka mampu menghabiskan dua gantang beras.
Perburuan
yang melelahkan itu, harus mereka tempuh dengan menggunakan sampan dan juga
berjalan kaki. Hari pertama, matahari hampir terbenam, mereka beristirahat dan
mendirikan pondok, keesokan harinya sewaktu matahari terbit diufuk timur,
mereka mulai melaksanakan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Kemudian,
ketika matahari mulai condong ke barat mereka sudah sampai di pondok, dengan
hasil buruan yang berlimpah ruah. Menurut kancil hasil buruan itu harus di
salai. Saya perintah beruang untuk cari kayu api, gajah menyusun kayu api dan
membakarnya, agar semua hasil buruan dapat disalai dan sudah mengering
keesoknya.
Malam
harinya setelah makan bersama mereka pun tidur, sementara harimau berjaga. Di
lain tempat, raksasa penguasa hutan rimba sejahtera merasakan sesuatu keanehan.
Ia mencium bau yang sangat enak, sehingga air liurnya tidak tertahan, meleleh
sepanjang malam. Paginya, raksasa penguasa rimba melakukan inspeksi mendadak.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ada bau yang sangat enak?
Sementara
itu, kancil meminta bung badak untuk piket, menjaga hasil perburuan yang telah
disalai di pondok. Sedangkan yang lainnya pergi berburu, termasuk kancil dan
harimau. Setelah teman-teman bung badak berangkat, sang penguasa rimba pun
datang, langsung bertanya, “Hei, siapa namamu?” tanya raksasa, “Siapa yang
mengizinkan kalian berburu disini?” Bung badak setelah melihat besarnya raksasa
itu, tidak dapat menjawab sepatah kata pun karena ketakutan. Setelah
memperhatikan tubuh bung badak, sang raksasa pun berujar, “Kalau bung badak
tidak menjawab pertanyaan saya. Saya akan maaakan salai ini, sampai semuanya
habis.” Dan raksasa pun memakannya sampai habis.
Sorenya,
teman-teman bung badak pun pulang. Sesampainya di pondok, mereka terlihat
sangat kecewa, karena mereka tidak melihat hasil buruan di hari pertama. Mereka
pun bertanya, “bung, siapa yang memakan salai itu?” Bung badak menjawab,
“Seseorang yang berbadan besar dan tinggi. Dan saya pun hanya setinggi
tumitnya. Ia mengaku penguasa hutan ini.”
Mendengarkan
cerita bung badak, kancil angkat bicara,”Lupakan orang berbadan besar dan
tinggi itu. Orang yang menurut saya raksasa pengusaha hutan ini. Mari kita
menyalai hasil buruan hari ini.” Malam pun tiba, seperti sebelumnya, harimau
mendapat tugas jaga.
Keesokan
harinya, harimau meminta tugas piket di pondok. “Thanks bung,” jawab kancil
mendengar permintaan harimau. Kemudian, teman-teman bung harimau pergi berburu
lagi. Raksasa pun datang lagi kepondok, dan kali ini tanpa basa-basi langsung
memakan salai dengan lahap. Bung harimau bungkam seribu bahasa, salai habis,
bung harimau lemah lunglai dan memilih tidur. Sorenya, teman-temannya pulang
berburu dengan hasil lebih banyak dari hari sebelumnya. Mereka langsung ke
tempat penyalaian dan ternyata salai habis seperti hari kemarin. Kancil bertanya
kepada bung harimau, “Apakah raksasa yang kemarin datang lagi?” Bung harimau
menjawab, “Iya, tapi saya tidak mampu berbuat apa-apa. Raksasa itu begitu besar
dan kuat.”
Mendengar
laporan harimau si raja hutan, kancil termenung. Kemudian kancil berkata, “Hari
perburuan kita tinggal besok. Lusa kita sudah harus pulang! Sementara hasil
perburuan kita habis semua.” Lalu, “Apa yang kita akan bawa pulang?” kancil
bertanya. Anggota rombongan hanya diam, tidak ada yang menjawab. “Menurut saya,
siapapun yang bertugas besok. Ia harus mampu mempertahankan hasil perburuan
dari rakusnya raksasa sang penguasa hutan. Maka, saya bertanya, piket besok
siapa?” Tidak seekor pun anggota rombongan yang berani angkat tangan. Sebagai
penanggung jawab rombongan, kancil dengan lantang bersuara, “Karena
saudara-saudara tidak berani! Saya yang mengambil alih piket besok! Teman-teman
silakan berangkat berburu.”
Mendengar
pernyataan kancil. Rekan-rekannya saling sikut satu sama lain, sambil
mencemooh. Orang sekecil itu, berani-beraninya mengambil alih tugas piket.
Nanti ia akan merasakan bagaimana rasanya diinjak-injak oleh si raksasa
penguasa hutan. Kancil tersenyum, tampak santai dan tanpa bemban. Kemudian
kancil mengajak semua rekannya untuk tidur. Waktu semua rekannya sudah
tertidur, kancil tidak dapat memejamkan mata. Ia terus berpikir bagaimana cara
dapat mengalahkan raksasa. Otaknya buntu! Ia tak mampu berpikir lebih lanjut,
kira-kira bagaimana cara mengalahkan raksasa. Dengan gaya seorang intelektual,
kancil akhirnya hanya berjalan kesana kemari, melihat tangan, kaki dan
tubuhnya. Ia melihat ada belang-belang di tubuhnya. “Kok saya ada tato!
Bagaimana ya kakekku dulu membuat tato pada badanku ini?!” pikir kancil. Ia
tidak lagi memikirkan sang raksasa, tetapi, lebih kepada tubuhnya yang bertato.
Paginya,
teman-teman kancil pergi berburu, sementara kancil tinggal sendiri di pondok.
Raksasa penguasa hutan pun datang, dengan mata melotot melihat kesana kemari,
kok tidak ada yang menunggu salai, seperti hari-hari sebelumnya. “Saya mau sapu
bersih salai yang ada,” raksasa membatin.
Kancil
melihat raksasa yang ingin memakan salai itu. Tapi, sebelum raksasa
melakukannya, kancil langsung menegur, “Eeeh bung, jangan seenak sendiri! Saya
ini penjaganya.”
Raksasa
menjawab, “Apa yang bisa kamu lakukan, jika saya memaksa memakan salai ini?”
“Tidak
ada yang bisa saya lakukan,” ujar kancil pelan. Terkesan pasrah.
“Jika
tidak ada. Mengapa kamu berani mengaku-ngaku sebagai penjaga,” ujar raksasa
lagi.
“Oh
ya, mari sejenak lupakan keinginanmu memakan salai. Sebagai orang yang bertubuh
besar dan pintar, aku ingin bertanya padamu: bagaimanakah tato di badanku ini
dulunya di buat oleh kakekku?” berkata kancil penuh semangat.
Raksasa
merasa tertarik dengan pertanyaan kancil. “Aku tak mengerti cara membuatnya.
Tapi aku ingin badanku juga bertato seperti badanmu,” timpal raksasa tak kalah
semangat.
“Kalau
bung ingin,” kata kancil, “Aku bisa buat! Aku sudah ingat caranya, yang
diajarkan oleh kakekku, yaitu dengan melilit rotan di badan, lalu dibakar.
Untuk melakukan itu semua, kita membutuhkan rotan, damar dan kayu.” Ujar
kancil.
“Aku
akan mencari rotan, damar dan kayu,” jawab raksasa bersemangat.
“Segera
kumpulkan bahan-bahan itu. Karena, tato yang dibuat sudah harus selesai sebelum
matahari terbenam. Jika tidak, tatonya tidak akan jadi,” pesan kancil sebelum
raksasa berangkat mencari bahan-bahan pembuatan tato.
Raksasa
mencari bahan-bahan untuk pembuatan tato penuh semangat. Dalam waktu singkat
semua bahan terkumpul. Kancil pun segera meminta agar si raksasa menumpukan
damar, lalu di atas damar diletakan kayu, selanjutnya raksasa diminta juga
membuat tempat untuk berbaring di atas tumpukan kayu itu, kemudian raksasa
melilit diri dengan rotan sesuai tato yang diinginkannya. Seluruh tubuh raksasa
pun terlilit rotan, mulai dari leher sampai ujung kakinya. Sebagaimana tato
yang ia kehendaki tergambar ditubuhnya.
Semua
permintaan kancil dilaksanakannya dengan baik. Raksasa pun berbaring ditumpukan
kayu. Kemudian, kancil berkata, “Aku akan membakar kayu ini, bung!”
“Silakan,”
jawab raksasa.
Korek
api pun kancil pegang, lalu dinyalakan. Damar dan kayu pun terbakar. Si raksasa
merasa panas tapi tidak dapat bergerak karena terikat rotan, maka ia berteriak
kesakitan. Kancil meminta raksasa untuk tenang. Rasa sakit itu menandakan tato
bung hampir selesai. Kemudian kancil bertanya, “Apakah masih melihat sinar
matahari?”
Raksasa
menjawabnya, “Tidak lagi! Kelihatan gelap!”
Kancil
menjawab, “Selesai sudah tatonya!” Tepat pada saat raksasa sudah mati terbakar.
Teman-teman
kancil yang berburu pun datang. Mereka langsung ke tempat penyalaian dan
melihat salai masih utuh. Kemudian, dengan bangga, kancil membawa
teman-temannya melihat bangkai si raksasa, mereka tegang, kagum, lalu bertanya:
apa yang terjadi? Kancil pun menjelaskan, ini semua berkat kehebatan ilmu dan
teknologi yang aku miliki. Mendengar penjelasan kancil, teman-temannya hanya
diam, tidak berani bertanya lebih lanjut tentang ilmu dan teknologi yang
dimaksud.
Mengingat
bahwa besok mereka akan pulang, sejenak mereka melupakan kematian raksasa.
Mereka disibukkan dengan persiapan untuk kepulangan keesokan harinya. Hasil
buruan hari ini disalai malam ini, sementara itu, salai yang sudah kering
mereka kemas dengan rapi.
Keesokan
hari mereka mempersiapkan diri untuk pulang, hasil buruan sangat banyak, sampan
yang dipergunakan mereka tidak cukup membawa hasil buruan, kancil berinisiatif
untuk membuat rakit. Rakit selesai dibuat. Mereka pun naik ke rakit dan milir
menuju kampungnya, dalam perjalanan pulang, gajah mengumpulkan teman-temannya
kecuali kancil yang sedang berendam di air. Kata gajah, “bila sudah kedengaran
kokok ayam, berarti kita sudah dekat kampung, maka salai harus dibagi ke
masing-masing kelompok.” Gajah, badak, beruang, anjing dan harimau, kesulitan
dalam menentukan pembagiannya, mereka bermusyawarah, gajah mengusulkan agar
pembagiannya dilihat besar kecilnya badan dan disetujui oleh teman-temannya
kecuali kancil, setelah diperhatikan satu persatu ternyata kancil yang badannya
paling kecil, tapi kancil senyum saja dan tetap merendamkan diri di air.
Kemudian gajah menyampaikan keputusan musyawarah kepada kancil, kancil
merasakan keputusan pembagian hasil tidak adil, maka kancil mencari akal.
Tiba-tiba kancil mengigil dan matanya dipejamkan, harimau bertanya, “Mengapa
bung? Sakitkah?” Kancil menjawabnya dengan sedikit gemetar karena kedinginan,
“Aku sepertinya kerasukan rohnya raksasa penguasa hutan rimba.” Mendengar
jawaban kancil, harimau menyampaikan ke teman-temannya, bahwa, kancil kemasukan
roh raksasa, tanpa berpikir panjang mereka langsung terjun ke air dan lari
ketakutan, meninggalkan rakit menuju daratan, kancil pun senyum dan berkata
dalam hatinya,
*Kekuatan
fisik telah dikalahkan oleh kecerdasan dan keadilan dapat mengalahkan
keserakahan.
*Tulisan
ini didedikasikan kepada setiap orang yang cerdas dan peduli akan keadilan yang
seadil-adilnya.