Selasa, 16 Juli 2013

Dongeng : Kancil Vs Raksasa


Konon dalam satu kampung yang bernama suka indah, kampung yang warganya terdiri dari badak, beruang, anjing, gajah, kancil dan harimau. Suatu hari kancil mempunyai ide untuk berburu. Sebuah ide besar pada masa itu. Setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya ide kancil diterima seluruh warga kampung. 

Setelah mendapat persetujuan, kancil pun mulai menentukan jumlah peserta dan membagi tugas serta tanggung jawab dari masing-masing peserta yang akan pergi berburu. Masing-masing jenis binatang diminta kancil hanya mengirim satu peserta. Sehingga seluruh peserta berjumlah enam ekor. Dengan masing-masing tugas dan tanggungjawab, sebagai berikut: 1). Badak memimpin pencarian ikan; 2). Beruang memimpin pencarian madu; 3). Anjing memimpin perburuan, untuk mendapatkan rusa dan kijang; sedangkan 4). Gajah urus konsumsi; 5). Kancil mengatur tugas harian dalam pondok; dan 6). Harimau bertugas sebagai penjaga keamanan.

Kemudian, bersama-sama mereka menentukan sasaran perburuan, yaitu hutan rimba tenang. Hutan yang di dalamnya banyak rusa, kijang, madu dan sungai-sungai kecil yang banyak ikannya. Berbagai sungai kecil itu, entah bagaimana sejarahnya, memiliki nama yang sama, yaitu sungai lain lubuk lain ikannya. Dan setiap lubuk memiliki jenis ikan yang berbeda-beda. 

Perburuan ini, sampai kembali ke kampung, mereka perkirakan memakan waktu lima hari. Oleh karena itu, mereka mempersiapkan beras sebanyak sepuluh gantang, dengan perhitungan satu hari mereka mampu menghabiskan dua gantang beras.

Perburuan yang melelahkan itu, harus mereka tempuh dengan menggunakan sampan dan juga berjalan kaki. Hari pertama, matahari hampir terbenam, mereka beristirahat dan mendirikan pondok, keesokan harinya sewaktu matahari terbit diufuk timur, mereka mulai melaksanakan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Kemudian, ketika matahari mulai condong ke barat mereka sudah sampai di pondok, dengan hasil buruan yang berlimpah ruah. Menurut kancil hasil buruan itu harus di salai. Saya perintah beruang untuk cari kayu api, gajah menyusun kayu api dan membakarnya, agar semua hasil buruan dapat disalai dan sudah mengering keesoknya.

Malam harinya setelah makan bersama mereka pun tidur, sementara harimau berjaga. Di lain tempat, raksasa penguasa hutan rimba sejahtera merasakan sesuatu keanehan. Ia mencium bau yang sangat enak, sehingga air liurnya tidak tertahan, meleleh sepanjang malam. Paginya, raksasa penguasa rimba melakukan inspeksi mendadak. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ada bau yang sangat enak? 


Sementara itu, kancil meminta bung badak untuk piket, menjaga hasil perburuan yang telah disalai di pondok. Sedangkan yang lainnya pergi berburu, termasuk kancil dan harimau. Setelah teman-teman bung badak berangkat, sang penguasa rimba pun datang, langsung bertanya, “Hei, siapa namamu?” tanya raksasa, “Siapa yang mengizinkan kalian berburu disini?” Bung badak setelah melihat besarnya raksasa itu, tidak dapat menjawab sepatah kata pun karena ketakutan. Setelah memperhatikan tubuh bung badak, sang raksasa pun berujar, “Kalau bung badak tidak menjawab pertanyaan saya. Saya akan maaakan salai ini, sampai semuanya habis.” Dan raksasa pun memakannya sampai habis.

Sorenya, teman-teman bung badak pun pulang. Sesampainya di pondok, mereka terlihat sangat kecewa, karena mereka tidak melihat hasil buruan di hari pertama. Mereka pun bertanya, “bung, siapa yang memakan salai itu?” Bung badak menjawab, “Seseorang yang berbadan besar dan tinggi. Dan saya pun hanya setinggi tumitnya. Ia mengaku penguasa hutan ini.”

Mendengarkan cerita bung badak, kancil angkat bicara,”Lupakan orang berbadan besar dan tinggi itu. Orang yang menurut saya raksasa pengusaha hutan ini. Mari kita menyalai hasil buruan hari ini.” Malam pun tiba, seperti sebelumnya, harimau mendapat tugas jaga. 

Keesokan harinya, harimau meminta tugas piket di pondok. “Thanks bung,” jawab kancil mendengar permintaan harimau. Kemudian, teman-teman bung harimau pergi berburu lagi. Raksasa pun datang lagi kepondok, dan kali ini tanpa basa-basi langsung memakan salai dengan lahap. Bung harimau bungkam seribu bahasa, salai habis, bung harimau lemah lunglai dan memilih tidur. Sorenya, teman-temannya pulang berburu dengan hasil lebih banyak dari hari sebelumnya. Mereka langsung ke tempat penyalaian dan ternyata salai habis seperti hari kemarin. Kancil bertanya kepada bung harimau, “Apakah raksasa yang kemarin datang lagi?” Bung harimau menjawab, “Iya, tapi saya tidak mampu berbuat apa-apa. Raksasa itu begitu besar dan kuat.”

Mendengar laporan harimau si raja hutan, kancil termenung. Kemudian kancil berkata, “Hari perburuan kita tinggal besok. Lusa kita sudah harus pulang! Sementara hasil perburuan kita habis semua.” Lalu, “Apa yang kita akan bawa pulang?” kancil bertanya. Anggota rombongan hanya diam, tidak ada yang menjawab. “Menurut saya, siapapun yang bertugas besok. Ia harus mampu mempertahankan hasil perburuan dari rakusnya raksasa sang penguasa hutan. Maka, saya bertanya, piket besok siapa?” Tidak seekor pun anggota rombongan yang berani angkat tangan. Sebagai penanggung jawab rombongan, kancil dengan lantang bersuara, “Karena saudara-saudara tidak berani! Saya yang mengambil alih piket besok! Teman-teman silakan berangkat berburu.”

Mendengar pernyataan kancil. Rekan-rekannya saling sikut satu sama lain, sambil mencemooh. Orang sekecil itu, berani-beraninya mengambil alih tugas piket. Nanti ia akan merasakan bagaimana rasanya diinjak-injak oleh si raksasa penguasa hutan. Kancil tersenyum, tampak santai dan tanpa bemban. Kemudian kancil mengajak semua rekannya untuk tidur. Waktu semua rekannya sudah tertidur, kancil tidak dapat memejamkan mata. Ia terus berpikir bagaimana cara dapat mengalahkan raksasa. Otaknya buntu! Ia tak mampu berpikir lebih lanjut, kira-kira bagaimana cara mengalahkan raksasa. Dengan gaya seorang intelektual, kancil akhirnya hanya berjalan kesana kemari, melihat tangan, kaki dan tubuhnya. Ia melihat ada belang-belang di tubuhnya. “Kok saya ada tato! Bagaimana ya kakekku dulu membuat tato pada badanku ini?!” pikir kancil. Ia tidak lagi memikirkan sang raksasa, tetapi, lebih kepada tubuhnya yang bertato. 

Paginya, teman-teman kancil pergi berburu, sementara kancil tinggal sendiri di pondok. Raksasa penguasa hutan pun datang, dengan mata melotot melihat kesana kemari, kok tidak ada yang menunggu salai, seperti hari-hari sebelumnya. “Saya mau sapu bersih salai yang ada,” raksasa membatin.

Kancil melihat raksasa yang ingin memakan salai itu. Tapi, sebelum raksasa melakukannya, kancil langsung menegur, “Eeeh bung, jangan seenak sendiri! Saya ini penjaganya.” 

Raksasa menjawab, “Apa yang bisa kamu lakukan, jika saya memaksa memakan salai ini?”
“Tidak ada yang bisa saya lakukan,” ujar kancil pelan. Terkesan pasrah.
“Jika tidak ada. Mengapa kamu berani mengaku-ngaku sebagai penjaga,” ujar raksasa lagi.
“Oh ya, mari sejenak lupakan keinginanmu memakan salai. Sebagai orang yang bertubuh besar dan pintar, aku ingin bertanya padamu: bagaimanakah tato di badanku ini dulunya di buat oleh kakekku?” berkata kancil penuh semangat.
Raksasa merasa tertarik dengan pertanyaan kancil. “Aku tak mengerti cara membuatnya. Tapi aku ingin badanku juga bertato seperti badanmu,” timpal raksasa tak kalah semangat. 

“Kalau bung ingin,” kata kancil, “Aku bisa buat! Aku sudah ingat caranya, yang diajarkan oleh kakekku, yaitu dengan melilit rotan di badan, lalu dibakar. Untuk melakukan itu semua, kita membutuhkan rotan, damar dan kayu.” Ujar kancil.
“Aku akan mencari rotan, damar dan kayu,” jawab raksasa bersemangat.
“Segera kumpulkan bahan-bahan itu. Karena, tato yang dibuat sudah harus selesai sebelum matahari terbenam. Jika tidak, tatonya tidak akan jadi,” pesan kancil sebelum raksasa berangkat mencari bahan-bahan pembuatan tato.

Raksasa mencari bahan-bahan untuk pembuatan tato penuh semangat. Dalam waktu singkat semua bahan terkumpul. Kancil pun segera meminta agar si raksasa menumpukan damar, lalu di atas damar diletakan kayu, selanjutnya raksasa diminta juga membuat tempat untuk berbaring di atas tumpukan kayu itu, kemudian raksasa melilit diri dengan rotan sesuai tato yang diinginkannya. Seluruh tubuh raksasa pun terlilit rotan, mulai dari leher sampai ujung kakinya. Sebagaimana tato yang ia kehendaki tergambar ditubuhnya.
Semua permintaan kancil dilaksanakannya dengan baik. Raksasa pun berbaring ditumpukan kayu. Kemudian, kancil berkata, “Aku akan membakar kayu ini, bung!”

“Silakan,” jawab raksasa.

Korek api pun kancil pegang, lalu dinyalakan. Damar dan kayu pun terbakar. Si raksasa merasa panas tapi tidak dapat bergerak karena terikat rotan, maka ia berteriak kesakitan. Kancil meminta raksasa untuk tenang. Rasa sakit itu menandakan tato bung hampir selesai. Kemudian kancil bertanya, “Apakah masih melihat sinar matahari?”

Raksasa menjawabnya, “Tidak lagi! Kelihatan gelap!”

Kancil menjawab, “Selesai sudah tatonya!” Tepat pada saat raksasa sudah mati terbakar.
Teman-teman kancil yang berburu pun datang. Mereka langsung ke tempat penyalaian dan melihat salai masih utuh. Kemudian, dengan bangga, kancil membawa teman-temannya melihat bangkai si raksasa, mereka tegang, kagum, lalu bertanya: apa yang terjadi? Kancil pun menjelaskan, ini semua berkat kehebatan ilmu dan teknologi yang aku miliki. Mendengar penjelasan kancil, teman-temannya hanya diam, tidak berani bertanya lebih lanjut tentang ilmu dan teknologi yang dimaksud.

Mengingat bahwa besok mereka akan pulang, sejenak mereka melupakan kematian raksasa. Mereka disibukkan dengan persiapan untuk kepulangan keesokan harinya. Hasil buruan hari ini disalai malam ini, sementara itu, salai yang sudah kering mereka kemas dengan rapi. 

Keesokan hari mereka mempersiapkan diri untuk pulang, hasil buruan sangat banyak, sampan yang dipergunakan mereka tidak cukup membawa hasil buruan, kancil berinisiatif untuk membuat rakit. Rakit selesai dibuat. Mereka pun naik ke rakit dan milir menuju kampungnya, dalam perjalanan pulang, gajah mengumpulkan teman-temannya kecuali kancil yang sedang berendam di air. Kata gajah, “bila sudah kedengaran kokok ayam, berarti kita sudah dekat kampung, maka salai harus dibagi ke masing-masing kelompok.” Gajah, badak, beruang, anjing dan harimau, kesulitan dalam menentukan pembagiannya, mereka bermusyawarah, gajah mengusulkan agar pembagiannya dilihat besar kecilnya badan dan disetujui oleh teman-temannya kecuali kancil, setelah diperhatikan satu persatu ternyata kancil yang badannya paling kecil, tapi kancil senyum saja dan tetap merendamkan diri di air. Kemudian gajah menyampaikan keputusan musyawarah kepada kancil, kancil merasakan keputusan pembagian hasil tidak adil, maka kancil mencari akal. Tiba-tiba kancil mengigil dan matanya dipejamkan, harimau bertanya, “Mengapa bung? Sakitkah?” Kancil menjawabnya dengan sedikit gemetar karena kedinginan, “Aku sepertinya kerasukan rohnya raksasa penguasa hutan rimba.” Mendengar jawaban kancil, harimau menyampaikan ke teman-temannya, bahwa, kancil kemasukan roh raksasa, tanpa berpikir panjang mereka langsung terjun ke air dan lari ketakutan, meninggalkan rakit menuju daratan, kancil pun senyum dan berkata dalam hatinya,

*Kekuatan fisik telah dikalahkan oleh kecerdasan dan keadilan dapat mengalahkan keserakahan.
*Tulisan ini didedikasikan kepada setiap orang yang cerdas dan peduli akan keadilan yang seadil-adilnya.

Sumber : Dongeng