Jumat, 05 Juli 2013

MDG dan Keadilan Bagi Anak-anak di Indonesia


Masa usia dini

Selama lebih dari tiga dasa warsa, Indonesia berhasil mengurangi angka kematian balita secara signifikan. Pada 1960, angka kematian balita mencapai 210 kematian per 1.000 kelahiran. Pada 1991 angka itu turun menjadi 97 kematian dari 1.000 kelahiran. Angka kematian bayi juga turun dari 128 tiap 1.000 kelahiran pada 1960 menjadi 35 dari 1.000 kelahiran pada 2002.
Namun angka kematian anak tetap menjadi masalah serius di Indonesia. Mengurangi angka kematian jelas memerlukan akses kesehatan yang baik, kualitas perawatan kelahiran dan manajemen penyakit masa kanak-kanak yang baik. Disamping itu perlu didukung kesehatan lingkungan yang baik. Misalnya dengan penyediaan air dan sanitasi yang bersih, pengawasan penyakit menular, nutrisi ibu yang baik. Tak kalah penting adalah lingkungan yang memberi perlindungan terhadap anak

Masa sekolah dasar

Bagi sebagian besar anak Indonesia, pendidikan gratis hanyalah sebuah mimpi. Apalagi alokasi anggaran untuk pendidikan hanya 4 persen dari anggaran belanja antara tahun 1992 sampai 2002. Korupsi yang merajalela di kalangan sekolah, birokrasi berbelit-belit dan kesulitan ekonomi semakin memperparah akses masyarakat untuk mendapat pendidikan layak.
Namun angka penduduk yang bersekolah rupanya meningkat belakangan ini sejak dicanangkannya Program Wajib Belajar Sembilan Tahun bagi semua anak Indonesia. Sekarang sekitar 90 persen anak Indonesia duduk di bangku sekolah sampai kelas lima. Hanya 50 persen yang benar-benar tuntas mengikuti pendidikan dasar sembilan tahun.

Masa remaja

Terlepas dari peningkatan angka anak yang menempuh pendidikan dasar, masih ada sekitar dua juta anak Indonesia yang tidak bersekolah. Dari angka itu, sekitar 15 persen adalah anak berusia 7 sampai 15 tahun. Sedangkan yang putus sekolah diperkirakan 1 juta anak per tahunnya.
Mendorong anak untuk tetap bersekolah pada usia remaja menjadi hal mendasar. Karena mereka yang putus sekolah akan meningkatkan resiko menjadi korban eksploitasi, termasuk perdagangan anak. Bahkan mereka rentan pula terhadap pelanggaran hukum dari penyalahgunaan obat terlarang sampai dengan kriminalitas. Pada usia ini mereka rawan terjangkit HIV/AIDS. Kondisi sosial dan budaya di Indonesia ikut andil meningkatkan resiko tersebut, terutama terhadap para remaja putri.
Pendidikan ketrampilan hidup, pelatihan kejuruan, pendidikan sebaya dan keikutsertaan anak akan menjadi hal penting dalam rangka meraih kesejahteraan dan masa depan anak remaja di Indonesia.
Keluarga, sekolah dan masyarakat adalah tempat bagi para anak remaja. Beberapa tahun silam, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan anak-anak tetap tinggal dalam kerangka tersebut.



MDG dan Keadilan Bagi Anak-anak di Indonesia

Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) berusaha mengangkat prospek kehidupan dan kesejahteraan perempuan dan anak-anak yang saat ini sedang meningkat dengan signifikan,
khususnya melalui peningkatan harapan hidup, penurunan kemiskinan, peningkatan kesehatan, gizi dan akses terhadap pendidikan. Untuk anak-anak, MDG memberikan sebuah kerangka bagi para pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa hak-hak dasar anak dapat terpenuhi. Akan tetapi, untuk menghasilkan dampak yang diharapkan ini, keadilan harus dipahami oleh seluruh penduduk. Kecenderungan data global menyatakan bahwa meskipun telah ada kemajuan
umum, tetapi sebagian besar penduduk masih tertinggal, sehingga mengakibatkan meluasnya kesenjangan sosial-ekonomi, dan semakin banyaknya orang yang kurang beruntung. Jika situasi ini tidak dapat diperbaiki, pencapaian MDG tidak dapat berkesinambungan. Oleh karena itu, masalah keadilan menjadi sangat penting bagi pencapaian MDG secara berkesinambungan.
Meskipun telah mengalami krisis yang berlapis selama beberapa dekade terakhir, Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif selama dekade terakhir, dimana penurunan kemiskinan telah mengalami kemajuan penting terhadap pencapaian MDG. Menurut
laporan pemerintah terakhir, empat dari 35 indikator yang paling langsung berhubungan dengan kesejahteraan perempuan dan anak-anak telah tercapai, 20 indikator berada pada arah yang tepat untuk mencapainya, dan 11 indikator perlu mendapatkan perhatian khusus atau tidak mungkin tercapai pada tahun 2015. Akan tetapi, keseluruhan kemajuan terhadap pemenuhan target MDG jauh dari universal. Ringkasan ini mengkaji kesenjangan yang luas di samping keberhasilan
yang telah dicapai oleh Indonesia, dengan mengidentifikasi pihak-pihak yang tertinggal dan bidang-bidang utama yang menjadi perhatian.

Mencapai MDG dengan Keadilan:
Tantangan Saat Ini
I. Kesenjangan antarprovinsi Indonesia terdiri dari 33 provinsi dan 497 kabupaten. Analisa Situasi Anak di Indonesia (SITAN) tahun 2010 menunjukkan pola yang konsisten dalam hal kesenjangan antarprovinsi, dimana sebagian besar provinsi tertinggal dibanding rata-rata nasional dan sejumlah kecil provinsi telah melebihi rata-rata nasional (lihat Tabel 2).
Gambar 1: Angka Kematian Bayi (AKB) Menurut Provinsi, Indonesia 2007 Misalnya, Indonesia berada pada arah yang tepat untuk mencapai MDG 4.1 yang berkaitan dengan Angka Kematian Bayi, dimana terdapat 34 kelahiran hidup per 1.000 kelahiran, tetapi ada 27 dari 33 provinsi memiliki angka kematian yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Kesenjangan antarprovinsi juga tinggi: Sulawesi Barat, provinsi termiskin memiliki AKB sebesar 74 per 1.000 kelahiran hidup dibandingkan dengan 34 per 1.000 untuk rata-rata nasional dan 19 per 1.000 di DI Yogyakarta. Berdasarkan tabel 1, kecuali pendidikan, terdapat bukti tentang kesenjangan provinsi untuk sebagian besar indikator MDG yang secara langsung terkait dengan hak-hak anak (MDG 1 sampai 4), dan hal yang sama dapat dilihat pada indikator cakupan pelayanan. Provinsi-provinsi yang berada di Kawasan Timur Indonesia (khususnya Papua, NTT dan NTB), provinsi yang baru dibentuk seperti Sulawesi Barat, Gorontalo dan Jambi, serta provinsi-provinsi yang terkena dampak konflik yaitu Maluku, Papua dan Sulawesi Tengah, adalah di antara provinsi-provinsi miskin dalam hal indikator kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan gizi. Kesenjangan antarprovinsi juga umum dengan perbedaan yang jelas antara kabupaten dalam provinsi yang sama
 
III. Kesenjangan kekayaan
Berbeda sekali dengan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya di Amerika Latin dan Afrika, Indonesia tidak berhubungan dengan tingginya tingkat kesenjangan kekayaan dan pendapatan. Akan tetapi, kecenderungan ini sedang mengalami perubahan. Koefisien Gini
Indonesia masih relatif rendah, tetapi telah mengalami peningkatan secara tetap, dari 0,334 pada tahun 1993 menjadi 0,364 pada tahun 2007. Kesenjangan pendapatan tercermin dalam indikator angka kematian anak dan ibu, yang sampai tingkat tertentu dapat dijelaskan dengan
kesenjangan cakupan pelayanan kesehatan antara kelompok miskin dan kaya. Studi Kasus Investasi menyatakan kesenjangan cakupan minimal sebesar 20% antara kelompok terkaya dan termiskin untuk hampir semua pelayanan kesehatan esensial ibu dan anak. Data Survei Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas 2007) menunjukkan bahwa dukun bayi tetap menjadi sumber utama bantuan bagi perempuan hamil untuk tiga terbawah. Berdasarkan Survei Antarsensus (SUPAS), Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa 83 persen perempuan dalam kuintil teratas melahirkan di fasilitas kesehatan, tetapi hanya 14 persen perempuan dalam kuintil terendah melakukan hal yang sama. Temuan-temuan ini tampaknya relevan untuk
menjelaskan, minimal sebagian, satu-satunya penurunan marjinal angka kematian bayi dan ibu di Indonesia selama dekade terakhir.


Rekomendasi

Di Indonesia, dengan pengecualian pendidikan, kesenjangan antarprovinsi, kesenjangan desa-kota dan kesenjangan kekayaan sangat nyata terhadap semua MDG. Di Indonesia, MDG tersebut telah menjadi prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014 Pemerintah Indonesia dan Rencana Strategis (Renstra) sektoral terkait. Langkah-langkah keadilan menjadi lebih nyata. Ada beberapa dilema kunci dan kontradiksi yang terkait untuk mengatasi kesenjangan di Indonesia. Bukti menunjukkan bahwa
anak-anak di KawasanTimur Indonesia mengalami ketidakberuntungan secara proporsional jika dibandingkan dengan anak-anak dari Kawasan Barat Indonesia. Akan tetapi, konsentrasi penduduk menunjukkan bahwa jumlah tertinggi anak-anak miskin dan rentan terdapat di
Jawa. Kedua kelompok anak rentan harus menjadi target tetapi melalui pendekatan dan formula yang berbeda. Beberapa rekomendasi yang dapat meningkatkan kemajuan pencapaian
MDG dengan keadilan bagi anak-anak di Indonesia dijelaskan di bawah ini.

1.Pemerintah pusat harus meningkatkan kapasitas untuk memantau hak-hak anak dan dimensi keadilan MDG. Peningkatan ini memerlukan pemilahan indikator-indikator kunci secara sistematis yang terkait minimal dengan dimensi-dimensi ini: provinsi/kabupaten/ kecamatan/
desa, perdesaan/perkotaan, pengeluaran rumah tangga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, usia dan jenis kelamin.

2.Di daerah-daerah yang berkinerja tinggi, pemerintah pusat dan daerah harus mengkaji kesenjangan antarkabupaten dan kelompok, mengidentifikasi kantong rumah tangga dan anak-anak rentan dan mengembangkan kebijakan, program dan sumber daya dengan sasaran
yang tepat.

3.Di daerah-daerah yang berkinerja buruk, pemerintah pusat dan daerah harus melakukan program-program universal yang lebih luas yang digabungkan dengan beberapa pendekatan. Bentuk dan distribusi umum kesenjangan menunjukkan bahwa kesenjangan antarkabupaten
dan antarkelompok masih dapat terjadi dalam provinsi-provinsi yang kurang beruntung.

4.Pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah harus meningkatkan upaya-upaya perlindungan sosial untuk mengatasi kerentanan masyarakat miskin, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan bagi masyarakat miskin, yang disertai dengan upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan permintaan mereka akan pelayanan.

5.Pemerintah pusat dan daerah harus menetapkan langkah-langkah untuk merespon urbanisasi yang cepat, dengan memastikan infrastruktur dan pelayanan yang memadai untuk mendukung
peningkatan kesejahteraan sosial di daerah-daerah perkotaan.

6.Pemerintah dengan dukungan dari akademisi dan LSM yang terfokus pada anak harus mengkaji faktor-faktor eksklusi sosial lainnya yang berkontribusi terhadap kerentanan tetapi belum mendapat perhatian  yang memadai, termasuk: Disabilitas, kondisi hidup (anak-anak yang hidup dengan dan tanpa asuhan orang tua)