Masa usia dini
Selama lebih dari tiga dasa warsa, Indonesia berhasil mengurangi angka kematian balita secara signifikan. Pada 1960, angka kematian balita mencapai 210 kematian per 1.000 kelahiran. Pada 1991 angka itu turun menjadi 97 kematian dari 1.000 kelahiran. Angka kematian bayi juga turun dari 128 tiap 1.000 kelahiran pada 1960 menjadi 35 dari 1.000 kelahiran pada 2002.Namun angka kematian anak tetap menjadi masalah serius di Indonesia. Mengurangi angka kematian jelas memerlukan akses kesehatan yang baik, kualitas perawatan kelahiran dan manajemen penyakit masa kanak-kanak yang baik. Disamping itu perlu didukung kesehatan lingkungan yang baik. Misalnya dengan penyediaan air dan sanitasi yang bersih, pengawasan penyakit menular, nutrisi ibu yang baik. Tak kalah penting adalah lingkungan yang memberi perlindungan terhadap anak
Masa sekolah dasar
Bagi sebagian besar anak Indonesia, pendidikan gratis hanyalah sebuah mimpi. Apalagi alokasi anggaran untuk pendidikan hanya 4 persen dari anggaran belanja antara tahun 1992 sampai 2002. Korupsi yang merajalela di kalangan sekolah, birokrasi berbelit-belit dan kesulitan ekonomi semakin memperparah akses masyarakat untuk mendapat pendidikan layak.Namun angka penduduk yang bersekolah rupanya meningkat belakangan ini sejak dicanangkannya Program Wajib Belajar Sembilan Tahun bagi semua anak Indonesia. Sekarang sekitar 90 persen anak Indonesia duduk di bangku sekolah sampai kelas lima. Hanya 50 persen yang benar-benar tuntas mengikuti pendidikan dasar sembilan tahun.
Masa remaja
Terlepas dari peningkatan angka anak yang menempuh pendidikan dasar, masih ada sekitar dua juta anak Indonesia yang tidak bersekolah. Dari angka itu, sekitar 15 persen adalah anak berusia 7 sampai 15 tahun. Sedangkan yang putus sekolah diperkirakan 1 juta anak per tahunnya.Mendorong anak untuk tetap bersekolah pada usia remaja menjadi hal mendasar. Karena mereka yang putus sekolah akan meningkatkan resiko menjadi korban eksploitasi, termasuk perdagangan anak. Bahkan mereka rentan pula terhadap pelanggaran hukum dari penyalahgunaan obat terlarang sampai dengan kriminalitas. Pada usia ini mereka rawan terjangkit HIV/AIDS. Kondisi sosial dan budaya di Indonesia ikut andil meningkatkan resiko tersebut, terutama terhadap para remaja putri.
Pendidikan ketrampilan hidup, pelatihan kejuruan, pendidikan sebaya dan keikutsertaan anak akan menjadi hal penting dalam rangka meraih kesejahteraan dan masa depan anak remaja di Indonesia.
Keluarga, sekolah dan masyarakat adalah tempat bagi para anak remaja. Beberapa tahun silam, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan anak-anak tetap tinggal dalam kerangka tersebut.
MDG dan Keadilan Bagi Anak-anak di Indonesia
Tujuan Pembangunan Milenium (MDG)
berusaha mengangkat prospek kehidupan dan kesejahteraan perempuan dan anak-anak
yang saat ini sedang meningkat dengan signifikan,
khususnya melalui peningkatan
harapan hidup, penurunan kemiskinan, peningkatan kesehatan, gizi dan akses
terhadap pendidikan. Untuk anak-anak, MDG memberikan sebuah kerangka bagi para
pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa hak-hak dasar anak dapat terpenuhi.
Akan tetapi, untuk menghasilkan dampak yang diharapkan ini, keadilan harus
dipahami oleh seluruh penduduk. Kecenderungan data global menyatakan bahwa
meskipun telah ada kemajuan
umum, tetapi sebagian besar penduduk
masih tertinggal, sehingga mengakibatkan meluasnya kesenjangan sosial-ekonomi,
dan semakin banyaknya orang yang kurang beruntung. Jika situasi ini tidak dapat
diperbaiki, pencapaian MDG tidak dapat berkesinambungan. Oleh karena itu,
masalah keadilan menjadi sangat penting bagi pencapaian MDG secara
berkesinambungan.
Meskipun telah mengalami krisis yang
berlapis selama beberapa dekade terakhir, Indonesia telah menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang positif selama dekade terakhir, dimana penurunan
kemiskinan telah mengalami kemajuan penting terhadap pencapaian MDG. Menurut
laporan pemerintah terakhir, empat
dari 35 indikator yang paling langsung berhubungan dengan kesejahteraan
perempuan dan anak-anak telah tercapai, 20 indikator berada pada arah yang
tepat untuk mencapainya, dan 11 indikator perlu mendapatkan perhatian khusus atau
tidak mungkin tercapai pada tahun 2015. Akan tetapi, keseluruhan kemajuan
terhadap pemenuhan target MDG jauh dari universal. Ringkasan ini mengkaji
kesenjangan yang luas di samping keberhasilan
yang telah dicapai oleh Indonesia,
dengan mengidentifikasi pihak-pihak yang tertinggal dan bidang-bidang utama
yang menjadi perhatian.
Mencapai MDG dengan Keadilan:
Tantangan Saat Ini
I. Kesenjangan antarprovinsi Indonesia
terdiri dari 33 provinsi dan 497 kabupaten. Analisa Situasi Anak di Indonesia
(SITAN) tahun 2010 menunjukkan pola yang konsisten dalam hal kesenjangan
antarprovinsi, dimana sebagian besar provinsi tertinggal dibanding rata-rata
nasional dan sejumlah kecil provinsi telah melebihi rata-rata nasional (lihat
Tabel 2).
Gambar 1: Angka Kematian Bayi (AKB)
Menurut Provinsi, Indonesia 2007 Misalnya, Indonesia berada pada arah yang
tepat untuk mencapai MDG 4.1 yang berkaitan dengan Angka Kematian Bayi, dimana terdapat
34 kelahiran hidup per 1.000 kelahiran, tetapi ada 27 dari 33 provinsi memiliki
angka kematian yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Kesenjangan
antarprovinsi juga tinggi: Sulawesi Barat, provinsi termiskin memiliki AKB
sebesar 74 per 1.000 kelahiran hidup dibandingkan dengan 34 per 1.000 untuk
rata-rata nasional dan 19 per 1.000 di DI Yogyakarta. Berdasarkan tabel 1,
kecuali pendidikan, terdapat bukti tentang kesenjangan provinsi untuk sebagian
besar indikator MDG yang secara langsung terkait dengan hak-hak anak (MDG 1
sampai 4), dan hal yang sama dapat dilihat pada indikator cakupan pelayanan.
Provinsi-provinsi yang berada di Kawasan Timur Indonesia (khususnya Papua, NTT
dan NTB), provinsi yang baru dibentuk seperti Sulawesi Barat, Gorontalo dan
Jambi, serta provinsi-provinsi yang terkena dampak konflik yaitu Maluku, Papua
dan Sulawesi Tengah, adalah di antara provinsi-provinsi miskin dalam hal
indikator kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan gizi. Kesenjangan antarprovinsi
juga umum dengan perbedaan yang jelas antara kabupaten dalam provinsi yang sama
III. Kesenjangan kekayaan
Berbeda sekali dengan negara-negara
berpenghasilan menengah lainnya di Amerika Latin dan Afrika, Indonesia tidak
berhubungan dengan tingginya tingkat kesenjangan kekayaan dan pendapatan. Akan
tetapi, kecenderungan ini sedang mengalami perubahan. Koefisien Gini
Indonesia masih relatif rendah,
tetapi telah mengalami peningkatan secara tetap, dari 0,334 pada tahun 1993 menjadi
0,364 pada tahun 2007. Kesenjangan pendapatan tercermin dalam indikator angka
kematian anak dan ibu, yang sampai tingkat tertentu dapat dijelaskan dengan
kesenjangan cakupan pelayanan
kesehatan antara kelompok miskin dan kaya. Studi Kasus Investasi menyatakan
kesenjangan cakupan minimal sebesar 20% antara kelompok terkaya dan termiskin
untuk hampir semua pelayanan kesehatan esensial ibu dan anak. Data Survei Riset
Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas 2007) menunjukkan bahwa dukun bayi tetap menjadi
sumber utama bantuan bagi perempuan hamil untuk tiga terbawah. Berdasarkan Survei
Antarsensus (SUPAS), Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa 83 persen perempuan
dalam kuintil teratas melahirkan di fasilitas kesehatan, tetapi hanya 14 persen
perempuan dalam kuintil terendah melakukan hal yang sama. Temuan-temuan ini
tampaknya relevan untuk
menjelaskan, minimal sebagian,
satu-satunya penurunan marjinal angka kematian bayi dan ibu di Indonesia selama
dekade terakhir.
Rekomendasi
Di Indonesia, dengan pengecualian
pendidikan, kesenjangan antarprovinsi, kesenjangan desa-kota dan kesenjangan
kekayaan sangat nyata terhadap semua MDG. Di Indonesia, MDG tersebut telah
menjadi prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014
Pemerintah Indonesia dan Rencana Strategis (Renstra) sektoral terkait.
Langkah-langkah keadilan menjadi lebih nyata. Ada beberapa dilema kunci dan
kontradiksi yang terkait untuk mengatasi kesenjangan di Indonesia. Bukti
menunjukkan bahwa
anak-anak di KawasanTimur Indonesia
mengalami ketidakberuntungan secara proporsional jika dibandingkan dengan
anak-anak dari Kawasan Barat Indonesia. Akan tetapi, konsentrasi penduduk
menunjukkan bahwa jumlah tertinggi anak-anak miskin dan rentan terdapat di
Jawa. Kedua kelompok anak rentan
harus menjadi target tetapi melalui pendekatan dan formula yang berbeda. Beberapa
rekomendasi yang dapat meningkatkan kemajuan pencapaian
MDG dengan keadilan bagi anak-anak
di Indonesia dijelaskan di bawah ini.
1.Pemerintah pusat harus
meningkatkan kapasitas untuk memantau hak-hak anak dan dimensi keadilan MDG.
Peningkatan ini memerlukan pemilahan indikator-indikator kunci secara
sistematis yang terkait minimal dengan dimensi-dimensi ini: provinsi/kabupaten/
kecamatan/
desa, perdesaan/perkotaan,
pengeluaran rumah tangga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, usia dan
jenis kelamin.
2.Di daerah-daerah yang berkinerja
tinggi, pemerintah pusat dan daerah harus mengkaji kesenjangan antarkabupaten
dan kelompok, mengidentifikasi kantong rumah tangga dan anak-anak rentan dan mengembangkan
kebijakan, program dan sumber daya dengan sasaran
yang tepat.
3.Di daerah-daerah yang berkinerja
buruk, pemerintah pusat dan daerah harus melakukan program-program universal
yang lebih luas yang digabungkan dengan beberapa pendekatan. Bentuk dan
distribusi umum kesenjangan menunjukkan bahwa kesenjangan antarkabupaten
dan antarkelompok masih dapat
terjadi dalam provinsi-provinsi yang kurang beruntung.
4.Pemerintah pusat bersama dengan
pemerintah daerah harus meningkatkan upaya-upaya perlindungan sosial untuk
mengatasi kerentanan masyarakat miskin, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan
bagi masyarakat miskin, yang disertai dengan upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan permintaan mereka akan pelayanan.
5.Pemerintah pusat dan daerah harus
menetapkan langkah-langkah untuk merespon urbanisasi yang cepat, dengan
memastikan infrastruktur dan pelayanan yang memadai untuk mendukung
peningkatan kesejahteraan sosial di
daerah-daerah perkotaan.
6.Pemerintah dengan dukungan dari
akademisi dan LSM yang terfokus pada anak harus mengkaji faktor-faktor eksklusi
sosial lainnya yang berkontribusi terhadap kerentanan tetapi belum mendapat
perhatian yang memadai, termasuk: Disabilitas,
kondisi hidup (anak-anak yang hidup dengan dan tanpa asuhan orang
tua)